Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Zainal Abidin (5): Masa Kecil Zainal Abidin

Foto : Atas ZA sedang menyapa masyarakat, bawah Jilbab hitam Ibu Kandung ZA


ZAINAL ABIDIN Wakil Bupati Kerinci periode 2014-2019 adalah anak desa yang terlahir dari kedua orang tua yang serba kekurangan, ia lahir pada tanggal 28 Agustus 1974 di Desa Koto Iman, Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Zainal lahir dari pasangan Ajumuddin dan Asriyah.

Sang ayah dan ibunya adalah seorang petani yang selalu mengadu nasib dan menyambung tali-temali kehidupan dari buruh sawah dan hasil bercocok tanam.

Ketika Zainal masih berusia balita ia sudah ikut bersama kedua orang tuanya mengadu nasib di Bukit Muan Pulang Sangkar dengan membuka lahan perkebunan, hari demi hari dilalui, dari terbitnya dari timur hingga tenggelam di barat, bersahabat dengan alam, bermalam di dalam hutan belantara menjadi hari-hari Zainal kecil dan kedua orang tuanya. Setiap harinya hutan yang semak-belukar itu dibersihkan hingga siap untuk ditanami sesuatu yang bermanfaat, sayur-sayuran, kopi, pepaya dan tanaman lainnya.

Ia merasakan betul bagaimana perjuangan orang tuanya dalam berjuang untuk bertahan hidup, hujan panas dilalui dengan tabah. Hari-hari dilalui dalam hutan belantara, Zainal ketika kecil tidak seperti anak-anak biasanya, nasibnya tidak semanis yang kita lihat saat ini.

 Setiap hari matanya berbinar melihat badan ayah dan ibunya dibakar teriknya matahari, keringat yang bercucuran deras. Pahitnya kehidupan sudah ia cicipi sejak kecil, anak petani yang malang, resiko cobaan hidup tak pernah habis. 

Kembalilah ingat setiap dalam doa dan hembusan napas. Amanah yang dibisikkan tatkala meninggalkan kampung halaman. Terus berjalan di atas semboyan yang telah lama terwaris berjuang dengan hati.

DIbayangi-bayangi ketakutan
Tak ada kata untuk menyerah perjuangan selalu menuntut kesabaran. Tak jarang Zainal kecil dan kedua orang tuanya dibayang-bayangi rasa ketakutan, binatang liar dan buas selalu berkeliaran di dalam bukit ini yang kapan saja bisa mencelakakan. 

Kala itu Bukit Muan jarang disentuh oleh tangan manusia, hanya sebagian orang saja mengadu nasib di atas punggung Bukit Muan. Bisa dipastikan orang-orang yang mengadu nasib di Bukit Muan adalah orang-orang yang bernasib seperti keluarga Zainal kecil karena tidak ada pilihan lain lagi kala itu selain membuka lahan untuk menyambung kehidupan.

Tidak ada listrik, dinginnya angin saat malam tiba menusuk sampai ke hulu hati. Malam selalu dilalui dengan kegelapan, keheningan dan kesunyian, yang ada hanyalah auman binatang liar dan buas, tak jarang auman itu bersumber dari tempat yang sangat dekat. 

Rasa cemas terus-menerus menghantui, namun hidup harus terus dilalui, tak boleh berhenti sampai di situ. Zainal kecil hanya memilih untuk bersandar di pojok dinding rumah yang terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk dan keropos, untuk bersembunyi dari ancaman.

Setelah sekian lama mencari keberuntungan di Bukit Muan Pulau Sangkar, ternyata nasib baik belum juga berpihak. Lagi dan lagi keluarga ini harus berpikir keras untuk bisa bertahan hidup.

Setelah beranjak umur 6 tahun, Zainal kecil dan kedua orang tuanya memilih pulang ke kampung halaman. Layaknya kehidupan pedesaan, tidak ada pekerjaan yang menjanjikan selain menjadi petani dan buruh tani di sawah. Karena mayoritas penduduk desa bekerja di sawah dan di lading. 

Semenjak di kampung, aktivitas tani dan buruh tani kembali dilakoni kedua orang tua Zainal. 
Kampung halaman masih memberi secercah harapan, meski cerah itu berada di balik bayang-bayang yang tertutup oleh hijab dunia. Mungkin kehidupan akan segera tercerahkan sesudah upaya dikerahkan. Di manapun kini kita berada, hingga tak terhitung lagi oleh jarak sekalipun, desa atau kampung halaman tetap akan selalu menerima kita untuk pulang meskipun kita pulang dalam keadaan yang kurang beruntung. 

Zainal Abidin di Masa SD

Zainal kecil mulai mengeyam pendidikan di SD di Koto Iman,. Sejak masuk SD ia disibukkan dengan aktivitas belajar. Sehabis pulang sekolah Zainal mengasingkan diri dari teman-teman sebayanya yang biasanya menghabiskan waktu untuk bermain. Sejak kecil Zainal sudah sangat menyadari keadaan yang dialami oleh keluarganya. Kadang ia hanya pergi ke sekolah tanpa bekal dan uang jajan, ketika rasa lapar datang Zainal hanya bisa menahan hingga sampai waktunya pulang ke rumah. 

Selang beberapa bulan di kampung ayahnya sudah mulai berjualan padi yang nantinya akan digiling menjadi beras, beras ini lah yang kemudian dijual kembali. Hilir mudik menggunakan sepeda ontel menempuh jalan kerikil, di bawah panasnya terik matahari dan terkadang Zainal kecil dan ayahnya pulang dalam keadaan basah kuyup akibat kehujanan saat dalam perjalanan menjual beras.

Ibunya juga tak pernah putus asa. Ia mencoba menjadi buruh tani sawah milik warga sekitar dengan upah harian, tubuhnya yang tidak lagi kekar selalu bergelimang lumpur, dari sawah ke sawah demi mencari sesuap nasi untuk menambah penghasilan keluarga.

Tidak hanya itu, ibu Asriyah juga memanfaatkan pekarangan rumah untuk dijadikan tempat bercocok tanam sayur-mayur ketika musim panen tiba Asriyah langsung menjualnya ke Balai Hiang. Dari hasil pendapatan inilah yang dijadikan sebagai modal sekolah Zainal, dan untuk makan sehari-hari.

Adakah setitik asa yang membekas dalam qalbu kita? Untuk membahagiakan kedua orang tua kita? Adakah setitik harapan atau malah tidak sama sekali? Tidak inginkah kita membuat kedua orang tua kita tersenyum bangga dengan prestasi yang kita raih? Kita pun sudah sama-sama mengetahui setiap hari jatah hidupnya akan terus berkurang, suatu saat nanti Allah SWT akan memanggilnya entah kita dalam keadaan siap atau tidak siap menerimanya, setidaknya sebelum kain putih menjadi pembalut terakhir tubuhnya, sebelum dimasukkan ke liang lahat, sebelum bersatu dengan tanah, kita sudah membuat sejarah kebanggaan, bahwa orang tua pernah bangga dengan anaknya sendiri.

Zainal kecil kerap merenung melihat wajah kedua orang tua yang kulitnya kian hari kian keriput, rambut hitamnya yang dulu berkilau kiini memutih, langkah kakinya tidak setegap dulu lagi, hari-harinya selalu dibayangi rasa sakit. Kerap ia pandang wajah ayah Ajumuddin dan ibu Asriyah dalam-dalam, kasih sayangnya selalu tercurah setiap waktu. Masya Allah. (bersambung)

*Dikutip dari buku Perjalanan Sang Anak Desa: Zainal Abidin, S.H., M.H. (inspirasi untuk Semulua Kalangan) ditulis oleh Priyoga Utama.