Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fenomena Calon Tunggal vs Kotak Kosong di Pilkada 2020

Ilustrasi kotak suara pemilihan umum. Foto: Freepik
KERINCIEXPOSE.COM - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tampaknya akan diikuti sederet calon tunggal atau satu pasangan calon (paslon). Istilahnya, calon tersebut bakal melawan kotak kosong. Fenomena ini pun dinilai oleh berbagai pihak sebagai kemerosotan demokrasi, namun sama sekali tak bisa dihindari.

"Ini menunjukkan kegagalan di internal partai politik dalam mencetak figur atau calon untuk berani maju. Dampak krisis calon figur yang diusung membuat persaingan di Pilkada juga tidak kompetitif," kata Direktur Eksekutif Pusat Sosial dan Politik Indonesia (Puspolindo) Dian Cahyani dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (13/8/20).

Dian mengatakan bahwa tak menutup kemungkinan masyarakat akan menjadi apatis, jika calon kepala daerahnya hanya kotak kosong. Menurutnya, partai politik harus membuat strategi agar masyarakat tidak apatis dan menggunakan hak pilihnya.

"Seperti halnya yang terjadi pada Pilwakot Makassar 2018 lalu, itu tercatat dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia, kotak kosong lebih unggul dari calon tunggal yang punya visi dan misi," ujarnya.

Lebih lanjut, Dian menyebut banyaknya calon tunggal di Pilkada serentak 2020 ini juga tidak terlepas dari adanya syarat ambang batas 20 persen dalam UU Pilkada. Misalnya Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD, atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

"Adanya syarat ambang batas 20 persen ini bisa dianggap memperbesar peluang Pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal. Ke depan, jika tak bisa ditiadakan, syarat ambang batas ini sebaiknya diturunkan menjadi 10 persen atau bahkan 5 persen saja," ucapnya.

Tak Ada Calon Tunggal Pilkada Andai DPR Boleh Cuti

Terkait situasi ini, anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menegaskan bahwa calon tunggal tak akan pernah ada dalam pilkada apabila legislator tak diwajibkan mengundurkan diri saat berkompetisi dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Namun, karena situasi sebaliknya, pilkada dengan banyak calon tunggal pun sulit dihindari.

"Seandainya anggota DPR boleh cuti, dipastikan tidak ada calon tunggal dalam pilkada yang ada di republik ini," kata Arteria Dahlan dalam sidang uji materi UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (12/8), dikutip dari Antara.

Menurut Arteria, berlakunya Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mensyaratkan pengunduran diri anggota legislatif sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah, justru berdampak pada minimnya peserta yang mengikuti kontestasi pilkada.

Arteria mengatakan bahwa calon tunggal dalam setiap kontestasi bisa mengancam kualitas pilkada dan mencerminkan kemunduran dalam pelaksanaan demokrasi. Selain persoalan calon tunggal, menurutnya, norma dalam pasal tersebut menyebabkan anggota legislatif tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban selama lima tahun karena diganti dengan mekanisme pergantian antarwaktu setelah mengundurkan diri untuk mengikuti pilkada.

"Anggota DPR, DPD, DPRD seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan kepala daerah, yakni menjalankan tugas dan wewenangnya dan kewajibannya selama lima tahun dan tidak boleh dikurangi satu detik pun.”

Arteria mengatakan bahwa nyaris semua anggota DPR menolak syarat legislator harus melepas jabatan untuk maju dalam pilkada saat pembahasan Undang-Undang Pilkada, tetapi terpaksa menyetujui keinginan pemerintah. Menurutnya, hampir semua fraksi sepakat bahwa anggota DPR, DPRD dan DPD tidak harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Namun, saat itu pemerintah khawatir dengan isu korupsi. Beberapa partai politik pun takut karena sejumlah menteri memiliki kepentingan yang tersandera sehingga pembahasan berakhir dengan kesepakatan.

"Pasal ketentuan mundurnya anggota DPR ini, itu dari awal sampai mau diputusnya undang-undang itu, masih alot terus sampai akhirnya kami dipaksa karena fraksi diperintahkan untuk ikuti yang ada di pemerintah, tapi suasana kebatinannya, semuanya ini adalah menolak.”

Arteria pun merasa keberatan saat pemerintah memberikan keterangan dalam sidang sebelumnya dengan mengutip sejumlah putusan MK terkait syarat pencalonan kepala daerah. Menurutnya, pemerintah dalam menyajikan keterangan kepada MK juga melihat suasana kebatinan faktual, yakni hampir semua fraksi setuju untuk menolak syarat DPR harus mundur itu

Perludem Prediksi Bakal Ada Calon Tunggal di 31 Daerah

Jauh sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah memprediksi bahwa akan ada calon tunggal di 31 daerah yang menggelar Pilkada 2020 secara serentak. Riset tersebut dilakukan Perludem berdasarkan dinamika politik yang berkembang hingga hari ini.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan bahwa angka tersebut sangat mungkin berubah. Sebab proses pencalonan masih berlangsung hingga ditutup pada Rabu (23/9).

Menurut Titi, sejumlah daerah yang diprediksi hanya akan memiliki calon tunggal itu di antaranya Kota Semarang, Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Banyuwangi, Blitar, Kabupaten Semarang, Kediri, Botolali, Klaten, Gowa, Sopeng, Gunung Sitoli, Balikpapan, Buru Selatan, dan Pematang Siantar.

Titi tak menyebutkan semua nama yang berpotensi menjadi calon tunggal. Namun di Kota Solo, ia menyebut ada nama Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

“Calon tunggal dan dinasti politik memang tak dilarang dalam konstitusi di Indonesia. Namun praktik ini perlu diimbangi agar demokrasi tetap berjalan secara adil bagi setiap warga negara,” kata Titi dalam diskusi virtual "Pilkada, Antara Dinasti dengan Kotak Kosong" yang digelar Perludem, Selasa (4/8).

"Bukan hanya kedaulatan rakyat, tapi kesetaraan politik. Bukan sekadar membolehkan orang untuk maju dan berkompetisi, tapi memastikan kompetisinya berjalan dengan adil dan setara.”

Titi menyebut tak ada cara lain mengimbangi praktik calon tunggal dengan menghadirkan kandidat alternatif. Menurut Titi, langkah ini bisa dipermudah dengan mengubah beberapa regulasi. Ia mencontohkan penyerentakan pilkada dengan pemilihan anggota DPRD. Terlebih lagi jika ambang batas pencalonan kepala daerah dihapus.

"Akan mendorong terciptanya koalisi yang lahir secara alamiah, meski tidak ada ambang batas pencalonan. Karena partai akan berpikir untuk mengusung calon yang bisa menarik suara dan berpotensi memenangkan partai," ujarnya.

Sumber: Asumsi.co