Hukum Tanah Melayu Jambi
Didalam hukum Tanah Jambi dikenal Hukum mengatur tentang perorangan. Yaitu Hukum Paanak Panakan, Paikatan, Pakawinan, Pawarisan dan Patanahan dan Hutan Rimbo”.
Prinsip dalam hukum patanahan dan hutan rimba diutamakan untuk kesejahteraan penduduknya”. Hukum Rimbo mengatur tentang milik bersama masyarakat yang ditandai dengan Seloko “Keayek samo diperikan, kedarat sama di perotan.
Hukum Rimbo mengatur Pantang larang yang mengatur tentang daerah yang tidak boleh dibuka, pengaturan tentang hewan dan tumbuhan, mengatur tentang adab dan perilaku di hutan.
Daerah yang tidak boleh tidak boleh dibuka atau diganggu (Pantang larang) seperti “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo,, Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/RImbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus, “Imbo Pseko, “rimbo bulian”, “Bukit tepanggang”.
Tanaman yang tidak boleh ditebang seperti durian, petai, cempedak hutan, kayu sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol), dan baungan. Dan hewan yang tidak boleh diburu seperti Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko, siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang)7 atau “Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh dipanjat. Ikan tidak boleh diracun. Burung gagak tidak boleh diambil .
Sebagai masyarakat yang menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga
Mengenal tatacara didalam mengelola sumber daya alam. Di Talang Mamak Istilah seperti Langsat-durian, Manggis-Manggupo9, Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai Pendanauan
Selain itu dikenal istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.
Setelah kita membahas tentang hukum Rimbo maka dapat melihat bagaimana masyarakat tentang hukum patanahan atau yang biasa dikenal sebagai Hukum Tanah.
Tanah masyarakat Melayu Jambi tidak dapat dipisahkan dari berbagai pendekatan didalam model pengelolaan. Dimulai dari proses pantang larang, tatacara membuka hutan, pemberian tanda, luas areal yang diberikan, siapa saja yang berhak mendapatkan, cara menyelesaikan masalah, sanksi dan hingga hilangnya hak terhadap tanah.
Model pengelolaan ini masih dihormati dan menjadi pengetahuan bersama didalam masyarakat. Model pengelolaan inilah yang menjadi pengetahuan didalam menyelesaikan persoalan. Mengenai pantang larang telah dijelaskan didalam bab sebelumnya.
Sebelum dimulai tatacara membuka rimbo dikenal Tanah pemberian. Sebagai masyarakat Melayu, Masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun .
Seloko terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun ditandai dengan Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan adalah perumpaan keterbukaan masyarakat dengan pendatang .
Sebagai bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.
Istilah “tanah Irung, Tanah gunting”. Atau dengan istilah “mengirung dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan “Belalang Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Terhadap masyarakat diluar Marga Sungai T enang dikenal ujung batin. Penduduknya berasal dari Marga Batangasai dan Marga Batin Pengambang namun wilayah kemudian diberikan dari Marga Sungai Tenang. Biasa dikenal dengan istilah “tanah ujung Batin”. Ditandai dengan Seloko “Belalang Batin Pengambang. Tanah Koto 10.
Pantang larang adalah penamaan tempat yang dihormati yang tidak boleh dibuka/diganggu. Daerah-daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah konservasi atau kawasan lindung.
Opini Musri Nauli
Advokad Tinggal di Jambi