Dirgahayu atau Dirgalayu Indonesia?
Oleh : Pebi Julianto
(Dosen IAIN Kerinci)
Setiap tahun kita lantang berteriak Dirgahayu Indonesia. Namun, apakah layak kata itu kita ucapkan jika rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang pembangunan justru semakin merasakan derita? Di Kerinci, di mana PLTA berdiri megah, rakyat kecil justru menanggung beban. Pertanyaan pun menggema, benarkah kita sedang menuju dirgahayu atau justru terseret perlahan ke jurang dirgalayu?
PLTA Kerinci dibanggakan sebagai simbol kemajuan energi hijau. Tapi rakyat bertanya dengan getir, mengapa listrik yang lahir dari tanah sendiri tidak bisa dinikmati secara murah, bahkan seharusnya gratis? Apakah keadilan hanya berlaku di buku teks, sementara kenyataan di lapangan rakyat dibiarkan dengan beban tagihan listrik yang kian mencekik?
Dampak sosial dari ketidakadilan ini begitu terasa. Tokoh masyarakat diadu domba, seharusnya menikmati manfaat langsung justru merasakan sebaliknya. Biaya listrik menambah beban hidup, Lalu untuk siapa PLTA ini dibangun, jika bukan untuk rakyat yang merelakan tanah dan lingkungannya?
Bupati Kerinci tidak boleh tinggal diam. Mereka adalah pemimpin yang dipilih rakyat untuk memperjuangkan suara rakyat. Jika listrik gratis dari PLTA Kerinci bisa diwujudkan, maka sejarah akan mencatat bahwa pemerintah daerah benar-benar berpihak pada rakyatnya. Tetapi jika hanya menjadi penonton, maka kekecewaan rakyat akan menjadi luka yang dalam.
Banyak dampak yang ditimbulkan dari ketidakpekaan pemerintah, Danpak sosial, ketidakpercayaan terhadap pemimpin, bahkan hilangnya semangat gotong royong yang selama ini menjadi ruh masyarakat Kerinci. Energi yang seharusnya menyalakan harapan, malah memadamkan rasa percaya rakyat kepada negara.
Listrik gratis bukanlah tuntutan berlebihan, melainkan bentuk keadilan sosial. Rakyat Kerinci telah memberikan air, tanah, dan ruang hidupnya demi PLTA. Kini saatnya negara mengembalikan hak itu dengan memberi terang tanpa beban. Inilah wujud nyata kemerdekaan yang seharusnya dirasakan rakyat, bukan hanya simbol perayaan.
Apakah pemerintah rela melihat rakyatnya menjadi korban pembangunan di tanah sendiri? Apakah Bupati Kerinci hanya akan diam ketika jeritan rakyat kian lantang? Jangan sampai sejarah mencatat bahwa pemimpin kita lebih sibuk menjaga kursi daripada menjaga rakyat.
Dirgahayu Indonesia hanya akan bermakna jika rakyat Kerinci benar-benar merdeka dari beban listrik. Jika tidak, maka kata itu hanyalah topeng, sementara kenyataan yang kita hadapi adalah dirgalayu, layu, pudar, dan sirna dari janji kemerdekaan.
Pilihan ada di tangan pemerintah, berpihak pada rakyat, atau membiarkan rakyat kehilangan harapan.