Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Zainal Abidin (3) Menuntut Ilmu untuk Menghilangkan Kebodohan


ANAK desa ini selalu mengatakan bahwa kemiskinan yang dia dan keluarganya alami sebenarnya sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia. 
Waktu ia kecil ia sama sekali tidak melihat dan tidak menganggap kemiskinan adalah sebuah petaka atau sebuah keterimpitan ekonomi yang harus dibesar-besarkan apalagi diperdebatkan.

Bahkan, bagi dia kemiskinanlah yang mengajarinya untuk masa mendatang. Oleh karena itu kekayaan yang sebenarnya adalah apa yang ada dalam diri seseorang, pada kecerdasannya, semangatnya, kemauannya, dan yang tak kalah pentingnya adalah spritualnya. 

Zainal Abidin tidak memandang kemiskinan sebagai musuh, bahkan menjadi sahabat yang akrab, sebab kemiskinanlah sebagai guru keprihatinan yang sebenarnya. 

Oleh karena itu menurut sang cahaya dari sudur desa ini, yang benar-benar musuh manusia adalah kebodohan, dia menuntut ilmu bukan untuk memperkaya diri dengan gelimang harta, apalagi harta yang didapat bersumber dari rampasan uang rakyat, nauzubillah. ilmu pengetahuan itulah menurut Zainal Abidin merupakan cahaya yang akan menjadi pelita dalam mengarungi kehidupan ini dan tentu gelapnya dunia ini tak lain bersumber dari kebodohan. 

Kemiskinan itu bukanlah aib dan bukan pula musuh bagi manusia, justru dengan adanya keadaan tersebut, menjadi batu loncatan yang sangat berharga bagi manusia yang sadar dan berakal, dengan keadaan ini pula menjadi cambuk bagi setiap orang untuk mencapai sebuah kemajuan. Kemiskinan menurut Zainal Abidin ibarat api yang membara, membakar seorang laki-laki untuk mengarungi nasibnya sendiri.

Menurut Zainal Abidin, yang benar-benar menjadi musuh kita ialah kebodohan, oleh karena itu, kebodohan harus diperangi, para Nabi dan Rasul selalu mewajibkan setiap manusia untuk selalu menuntut ilmu sepanjang hidup agar tidak menjadi manusia yang bodoh. 
Sebab, kebodohan membuat akal manusia tidak berenergi, hati manusia kehilangan cahayanya. Dan akibat dari kebodohan juga, manusia dapat tertipu oleh keadaan, yang sangat tragis lagi lama-lama dirinya sendiri akan menjadi pemicu penipuan dan membuat gelap keadaan.  Ya, seperti yang dirundung bangsa besar ini.

Seperti informasi bohong yang digulirkan, memecah belah antar suku, ras dan agama hingga terputuslah tali temali persaudaraan yang telah diikat para tokoh tokoh kita. 

Apalagi di masa bernuansa politik ini, tak jarang beredar akun palsu di media sosial menyebar virus hoax demi kepentingan dan hausnya kekuasaan, mereka dengan mudah membabi buta tanpa merasa bersalah, namun sayangnya hoax ini selalu dipercaya kebenarannya oleh orang-orang bodoh pula tanpa melakukan klarifikasi yang akurat atau tabayun. 

Tapi kita tidak perlu cemas untuk menangkal kebuntuan ini, kita masih punya banyak cara, salah satunya adalah mencerdaskan diri, meningkatkan intelektualitas, selalu berpikiran positif dan dengan sendirinya hoax yang disebarkan tidak akan mudah dipercayai lagi oleh semua kalangan. 

Seperti yang dikatakan Jusuf Sutanto dalam bukunya The Dance of Change Krisis Financial, perubahan iklim, terorisme, dan berbagai persoalan lainnya sebenarnya muncul karena manusia belum memahami siapa dirinya sendiri dan untuk apa makna keberadaannya di bumi, manusia belum menyadari bahwa ia bukan pusat dari segalanya. 

Di tengah alam raya yang maha luas, alih-alih manusia, planet hunainnya ternyata bukan pusat, tapi hanyalah seperti butir debu yang tak punya arti. Sudah saatnya manusia mengubah cara memandang dunia, nafsu menaklukkan dan mengeksploitasi alam dan sesama manusia harus dikikis habis, manusia harus berpikir dan bertindak selaras dengan tarian alam yang terus berubah. 

*Dikutip dari Buku Perjalanan Sang Anak Desa: Zainal Abidin, S.H., M.H. (Inspirasi untuk Semua Kalangan), ditulis oleh Priyoga Utama.