Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Opini Musri Nauli: Artefak di Kerinci

Opini Musri Nauli
Opini Musri Nauli: Artefak di Kerinci 

Musri Nauli

Walaupun keberadaan masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari diperkirakan sudah berada jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan tersebut. 

Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan banyak tentang masyarakat. Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan masyarakat diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama Budha, Hindu dan Islam. 

Didataran tinggi Jambi dikenal daerah Kerinci, Sungai Tenang, Serampas sebagai pusat peradaban pada masa prasejarah.

Menurut para Ahli dan berbagai Sumber menyebutkan Teknologi batu yang biasa dikenal sebagai Megalitik pada masa neolitik dan memanfaatkan benda-benda yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Bukti ini sekaligus konfirmasi tentang adanya mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan konsepsi-konsepsi bercorak megalitik yang bercocok tanam

Bahkan para Ahli sendiri menegaskan Di Ulu Tiangko, Merangin ditemukan fosil sisa rangka manusia yang memiliki ciri-ciri Australomelanesid di Ulu Tiangko, Propinsi Jambi yang berusia 6000-9000 tahun yang lalu. 

Pada tahun 1913, A. Tobler, seorang arkeolog bangsa Swiss, melakukan penggalian di gua Vlu Chanko, Provinsi Jambi, tidak jauh dari Sungai Maringin dan Batang Tabir. la menemukan sebuah industri obsidian yang terdiri atas serpih-serpih yang diretus dan beberapa lancipan panah. 

Di Kerinci ditemukan peninggalan Megalitik berbentuk silinder atau kerucut dan Kubur tempayan di Desa Muak, Kerinci, Bukit Batu larung dan Renah kemumu. 

Baca Juga: Opini Musri Nauli: Kesaktian Kerinci

Sedangkan motif relief lingkaran konsentris bidang di ujung tenggara juga ditemukan di Talang Alo, Dusun Tuo dan Gedang. Megalitik berfungsi sebagai lambang ritual serta lambang status orang kelompok yang berkuasa. Arahnya menghadap Gunung Kerinci adalah symbol dan ritual. Berbagai situs yang mengelilingi megalit merupakan pusat dari pemukiman kuno di Desa Muak.

Juga ditemukan Batu Gong nenek Betung Situs Kumun Mudik,  Batu Sorban di Desa Sumur Gedang, Sungai Liuk, Kota Sungai Penuh, Batu Meriam Situs Lempur Mudik, Batu Kursi, Gunung Raya, Kerinci, Batu Panjang Situs Lolo Kecil, Batu Gong Situs Pondik, Batu Silindrik Situs Lolo Gedang, Batu Talang Pulai Situs Jujun, Batu Meriam Situs Pulau Sangkar, Batu Silindrik Situs Tanjung Batu, Batu Meriam Situs Talang Kemuning, Dolmen Batu Rajo PUlau Tengah, Batu Lumpang Sungai Penuh, Batu Lumpang Muak, Menhir Dusun Kecik Melako Tinggai Desa Bernik, Komplek Menhir Pendung Mudik, Makam Nenek Siak Lengih, Makam Nenek Pemangku Rajo, Tanah Sabingkeh, Tanah Mendapo. 

Pada penelitian selanjutnya, kubur tempayan ditemukan di situs Lubuk Mentilin, Lolo Gedang, Dusun Baru Muak, Ulu Muak, Talang Semerah dan Siulak Tenang. 

Menurut mitologi Dataran Tinggi Jambi, penguasa gunung-gunung itu disebut dengan nenek yang mempunyai kesaktian, atau mambang, ialah makhluk halus yang pertama kali menghuni. 

Di Marga Batin Pengambang dikenal Seloko “Teluk Sakti Rantau Betuah Gunung Bedewo” sebagai penamaan tempat yang dihormati. Hingga sekarang tradisi mengantarkan makanan ataupun sesajen masih dilakukan.

Untuk menjaga hubungan dengan mambang dan arwah nenek moyang, dalam kenduri seko dilaksanakan tari-tarian dengan memanggil nama nenek moyang hingga tidak sadarkan diri. Kata-kata yang keluar dari mulut penari yang tidak sadar diri dipercayai merupakan pesan dari nenek moyang serta sebagai tanda telah terajalinnya kembali kedekatan hubungan antara nenek moyang dan keturunannya. Karena arwah nenek moyang berubah menjadi harimau, maka penari yang dipercaya telah dikuasai atau dimasuki oleh arwah nenek moyang kadang-kadang mengaum seperti harimau. Pada malam hari dilakukan tari-tarian serta dipersembahkan daging dan darah (kerbau) yang diletakkan di pinggir desa untuk para arwah nenek moyang. 

Baca Juga: Jambi Kota Dagang (3)

Peninggalan zaman prasejarah kemudian menghasilkan cerita ditengah masyarakat. Menurut berbagai Sumber menyebutkan, Pada masa sekitar abad ke-9 hingga ke-13, masyarakat Kerinci dipimpin oleh persatuan Sugindo. Sugindo bukan seorang raja melainkan kepala suku atau kepala kaum yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Sugindo-sugindo ini memimpin masyarakat dari berbagai dusun yang ada di Kerinci. Persatuan para Sugindo ini sangat kuat dan bersedia saling membantu satu sama lain. Setiap tahun mereka sering mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan ataupun kehidupan masyarakatnya. Forum pertemuan ini dikenal dengan sebutan Sakti Alam Kerinci. 

Setelah masuknya agama Islam dalam masa kepemimpinan para Sugindo dan kedatangan Pangeran Temenggung dari Jambi, maka kekuasaan para Sugindo di Kerinci berganti menjadi Kedepatian. Depati ini berasal dari kata Dipatri yang artinya ditetapkan atau Adipati yang berarti gelar kepala atau pemimpin suatu wilayah. Kekuasaan di Kerinci pada masa itu dipimpin oleh Depati Empat Delapan Helai Kain. Ada 7 wilayah adat yang berada dibawah kekuasaan Depati Empat Delapan Helai Kain ini, salah satunya adalah wilayah adat Depati nan Bertujuh di Kota Sungai Penuh. Depati nan Bertujuh ini menjalankan tugasnya dalam pemerintahan adat bersama dengan Permanti nan Sepuluh, Mangku nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Adapun Depati nan Bertujuh tersebut antara lain Depati Santiudo, Depati Payung nan Sekaki, Depati Sungai Penuh, Depati Pahlawan Negara, Depati Simpan Negeri, Depati Alam Negeri, dan Depati Nyato Negaro.

Pada masa kekuasaan Depati nan Bertujuh, Kerinci belum mengenal wilayah kekuasaan atau teritorial secara administratif seperti saat ini. Batas-batas ditandai dengan elemen fisik atau simbol-simbol alam seperti sungai, hutan, bukit, dan sebagainya. Berdasarkan dua isi piagam di atas dapat disimpulkan bahwa batas wilayah adat Depati nan Bertujuh meliputi aliran Sungai Bungkal dari hulu hingga ke hilir yaitu muara Air Hitam, di sebelah Utara hingga ke daerah Koto Keras, dan sebelah Selatan hingga ke daerah Kumun Debai. 

Sehingga para Ahli kemudian merumuskan Megalitik juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo.  Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)

Tidak salah kemudian Ahli menegaskan Kebudayaan megalitik yang menghasilkan bangunan dari batu besar merupakan kebudayaan terakhir dari zaman prasejarah (paleoarkeologi)

Sedangkan cerita yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah dan Kecik Wong Gedang Wok. 

Advokat. Tinggal di Jambi

Baca Juga:

Opini Musri Nauli : Jambi Sebagai Kota Dagang (2)

Opini Musri Nauli: Hak Privasi